Bandung: All about Memories (Part 3 – Habis)

4 Girls in Bed, Jayakarta Boutique, BandungBerempat dalam satu tempat tidur: Why Not?

Apapun bisa terjadi bila berakhir pekan di Bandung saat long weekend, kalau kita membiarkannya terjadi 🙂 Ketersediaan kamar hotel adalah masalah terbesar. Dua malam di Bandung, kita menginap di dua hotel. Malam pertama menginap di Jayakarta Boutique, malam kedua menginap di Horizon Boutique. Karena kita cuma kebagian satu kamar di setiap hotel itu, apa boleh buat, kita terpaksa tidur secara pas-pasan. Maksudnya, pas untuk membaringkan badan saja, tak bisa terlalu bebas bergerak.

di depan kamar hotel Horizon Boutique, BandungDi Junior Suite Jayakarta Boutique Hotel sih, masih lumayan. Kita tidak tidur berempat di satu tempat tidur yang king size itu. Aku yang mulai bersin-bersin, tidur terpisah di sofa bed. Tapi, saat kita pindah ke Horizon Boutique, tak ada pilihan lain, selain tidur berempat dalam kamar tidur twin bed. Jadi, sebelum tidur kita olah raga dulu dengan menggeser tempat tidur untuk menyatukan keduanya.

Yuni and Me, Horizon Boutique, BandungHorizon Boutique, hotel baru yang baru dalam periode soft opening per 30 Mei 2007. Kamar yang siap huni hanya 20, 45 lainnya masih dalam tahap pembangunan. Hotel ini bernama Singajati sebelum diambil alih Horizon Group. Dengan harga 600 ribu lebih semalam (berapa tepatnya ya, Din?), hotel ini terbilang mahal. Tak ada AC (padahal kalau siang, bisa terasa panas juga), tak ada minibar (dimana dong, kalau mau simpan susu?), dan cuma ada shower yang tak dilengkapi tirai mandi. Lokasinya memang tenang, karena jauh tinggi di Dago, dan sudah pasti berudara segar. Sungguh tepat kalau pihak hotel memberi tag line pada hotel ini: a perfect place to hide away….

Pagi hari, dari kamar hotel HorizonTapi tujuan kita ke Bandung sama sekali bukan untuk bersembunyi. Salah besar itu! Melarikan diri, mungkin lebih tepat. Melarikan diri dari sebagian kenyataan hidup, bahwa kita ini pekerja. Jadi, salah satu (dan mungkin satu-satunya) peraturan perjalanan kita adalah: dilarang membicarakan masalah kantor atau pekerjaan. Yang tak sengaja bicara, didenda 1000 rupiah. Jangan tanya siapa yang pernah kena denda diantara kita. Karena semua pasti ngelesss…… kalau kedapatan melanggar peraturan.

Masalahnya, sebagian besar hidup kita dipakai untuk memikirkan pekerjaan (kasihan ya?). So, tidak mudah mengikuti peraturan ini. Tidak mudah juga menemukan topik pengganti yang setara. Padahal, kita butuh topik bicara yang harusnya lumayan menarik saat menyusuri jalanan Bandung yang sungguh padat, padat dan padat. Akhirnya, kita bermain-main dengan bluetooth. Kirim ini kirim itu. Salah satu yang dipertukarkan adalah ringtone SMS versi Onta Arab. Lucu deh! Dina mendapatkan ringtone ini dari kakaknya di Aussy. Heran juga, mana ada onta Arab yang cari minum di Aussy? 😀

Percayalah, tak selamanya kita bisa bersama…

Ketan BakarItulah kenyataan yang harus diterima. Kalau tidur berempat di satu kamar bisa menyelesaikan masalah ketaktersediaan kamar hotel buat kita, maka makan pagi bersama-sama, sama sekali tak mungkin dilakukan. Hotel hanya menyediakan dua piring makan untuk setiap kamar. Nah, siapakah yang berhak makan pagi gratis di hotel? Dasar perempuan, bikin lotere arisan adalah jalan keluar yang dipilih. Dina dan aku kebagian breakfast di Jayakarta, dengan demikian, Mbak Sivi dan Yuni bisa breakfast gratis di Horizon.

Untung ketemu Pak Aceng!

Putar-putar Bandung dengan segala macam keinginan dalam waktu yang terbatas, tidak mudah dilakukan. Apalagi sejak Pak Sanca, “kecengan” baru kita (baca Part 1) ingkar janji. Dia tak jadi datang mengantar kita mengitari indahnya Bandung. Yuni lalu mengaduk-aduk buntelan (hihihi… buntelan..) kartu namanya, lalu menelpon.

Lalu datanglah Pak Aceng, sang dewa penyelamat,  dengan Avanza-nya. Berkat Pak Aceng kita bisa pindah hotel dengan lancar, bisa makan siang di Batagor Riri (sehingga Yuni bisa merasakan kembali minuman masa kecilnya, Sarsaparila), makan malam dengan sup ayam dan kepiting di pinggir jalan, ke FO, Circke K, Kartika, Amanda, sampai mengantarkan kita ke depan pos XTrans di Cihampelas, siap kembali ke Jakarta. Tentu tidak gratis, dewa penyelamat ini kita bayar: 40 ribu/jam.

Batagor Riri  Sarsaparila  menunggu pesanan datang…

Kudu bayar berapa siihhh…???Ahhh….. jadi ingat, bagaimana perhitungan keuangan patungan kita ini. Bagaimana jeng Yuni? Masa, catatan pengeluaran hanya rapi di awal perjalanan saja? 

Dari perhitungan yang kamu buat ini, hanya terlihat betapa kamu ogah rugi banget Yun….

Masa, tips untuk room boy yang cuma 10.000 itu, kamu bagi empat??? Ohhh…. pleaseee…. beginikah cara seorang master of finance bekerja? Huahahaha…..

-Habis-

Bandung: All about Memories (Part 2)

Seperti halnya kesedihan dan kebahagian, kepanikan pun menular…

Rumah Mode adalah FO pertama yang kita kunjungi, malam itu, hari pertama berakhir pekan di Bandung. Walaupun sudah menyiapkan mental, kita bakal menemui keramaian yang luar biasa, tetap saja ada kejutan-kejutan kecil. Contohnya: nyenggol pantat orang berkali-kali, kena hempasan siku tangan sesama pengunjung yang tak sengaja (atau sengaja?), mendengar perbincangan dengan logat Malaysia, kehilangan teman belanja sehingga terpaksa nelpon berkali-kali dengan pertanyaan yang itu-itu juga, “Kamu di mana?”

Silvia - Me - Yuni - DinaSetelah Rumah Mode, berikutnya adalah Heritage, Cascades, dll… Semuanya sama saja. Banyak orang panik di dalamnya. Semuanya sibuk mengaduk-aduk. Kita pun ikut panik. Ikut mengaduk-aduk….! Agak sulit berpikir bijaksana, apa yang sebetulnya kita perlukan? Apa yang benar-benar diinginkan? Warna apa yang bagus? Harganya apa memang betul segitu? Cukup murahkah? Atau sama saja dengan yang di Jakarta? Perlu beli sekarang, nggak? Atau pilih model yang lain aja? Aaarrgghhhh….!!!! Mendadak butuh Kit-Kat. Give me a break.

Pesan moral:
Belanja di FO memang kudu pagi-pagi sekali. Keuntungannya adalah:
1. FO tampil rapi jali sekali. Memilih model, warna dan ukuran jadi jauh lebih mudah.
2. FO tampak lega. Kita bebas hilir-mudik tanpa berebut.
3. FO jadi ramah. Mbak-mbak pramuniaga bisa berkesempatan melayani kita dengan baik, bahkan bisa sempat memberi petunjuk kemana harus mencari sesuatu yang diinginkan.

Mana yang lebih mengesalkan: mengantri atau menunggu?

Antri di Koffie AromaMenunggu tentu lebih mengesalkan. Karena yang ditunggu belum tentu datang. Sementara mengantri, selain kemungkinan besar barang antrian bisa sampai di tangan, kita mendapat semacam pujian: bisa tertib mengantri = orang yang berbudaya.

Demikianlah, beli kopi pun harus mengantri. Tak apa. Masih ada cukup banyak amunisi untuk itu. Di Koffie Fabriek AROMA, kita bertemu dengan para pecinta kopi. Mengantri bersama-sama dengan (pura-pura) tenang, (pura-pura) sabar. Kemudian datanglah pecinta kopi lain, yang langsung menanyakan jenis-jenis kopi dan langsung memesannya. Dari cara bicaranya, terdengar bahwa Bahasa Indonesia yang digunakannya bukanlah bahasa ibunya. Begitu beberapa bungkus kopi pesanannya mendarat di tangannya, si pecinta kopi itu memanggil dan memintaku memotret si bungkus kopi.

Tuan KoffieDengan senang hati, kulakukan. Klik! “Tak perlu memfoto saya,” katanya. “Ups! Sudah terlanjur…,” kujawab sambil nyengir. “Foto tulisannya saja, biar kelihatan,  (ini) pakai bahasa Belanda…” Kujawab dengan “klik” sekali lagi. Dia tersenyum lebar begitu kuperlihatkan hasilnya. Nah, begitu melihat wajahnya lebih jelas, dugaan kerasku adalah: si pecinta kopi ini mungkin “pecinta bahasa Belanda” juga. What do you think?

img_0549b.jpg  img_0552c.jpg  img_0547c.jpg

Capeee deeehhhSekali lagi mengantri, menjelang kembali ke Jakarta. Kali ini demi brownies kukus Amanda. 11.25 Dina sudah memantapkan posisinya dalam antrian. Kecepatan menuju loket kasir jauh dibawah kecepatan bertambahpanjangnya antrian. 15 menit kemudian, saat Dina baru beranjak maju sekitar 2 meter, panjang antrian sudah bertambah dari 5 meter menjadi 12 meter lebih. Nggak heran, kalo komentar Dina di foto ini adalah: Capeeeek deehhhh. Baru pukul 12.00 brownies kukus boleh dibawa pulang. Whheeewww…..!!

Bersambung ke Bandung: All about Memories (Part 3 – habis)

Bandung: All about Memories (Part 1)

Ada beberapa kenangan penting dengan Bandung. Di sanalah pertama kali punya pengalaman tinggal di rumah kost. Pertama kali naik angkot. Pertama kali berusaha meraih cita-cita besar. Pertama kali mengalami kegagalan dalam hidup: tidak tembus tes masuk FSRD-ITB.

Yuni - Dina - Me - SilviaTapi ini bukan cerita tentang semua itu. Ini catatan liburan akhir pekan di Bandung, 1 – 3 Juni 2007.

Buat yang tinggal di Jakarta, berlibur ke Bandung, bukanlah suatu kemewahan. Tapi buat aku yang sudah sekian lama tak punya akhir pekan, bisa berlibur ke sana, sudah menggembirakan..

Jatuh hati pada nasi hideung

Adalah Pak Sanca – tolong jangan sampai berpikir tentang makhluk melata itu, karena dia sama sekali tidak membahayakan – sopir BlueBird yang mula-mula bertanya, apakah kita sudah pernah ke Punclut, tempat kota Bandung bisa dilihat dari atas. Kita jawab: BELUM. “Di sana kita bisa makan nasi item”, katanya lagi. “Apakah cuma di sana tempat kita bisa makan nasi item?” tanyaku untuk memastikan jangan sampai usaha pergi ke Punclut – sesuatu yang sama sekali tidak pernah direncanakan, hanya sesuatu yang tak terlalu penting dilakukan. Pak Sanca menjawab, “Ya, cuma ada di sana.” Well, apa boleh buat, kali ini diperlukan spontanitas. Setelah check-in di Jayakarta Boutique, kita meluncur ke Punclut.

img_0507-punclut.jpgJalan ke Punclut, ternyata tidak mudah. Kita harus melewati jalan tanah yang berkelok tajam, naik turun, cukup bikin was-was. Yang makin bikin was-was, tidak ada tanda-tanda bahwa nasi item itu masih tersedia di warung-warung yang kita lewati. Bahkan, warung-warung itu tutup. Saat itu sekitar pukul 5 sore.

“Nasi hideung, aya’?”, Pak Sanca bertanya pada orang ke-2 yang kita temui di jalan, sambil mencari petunjuk jalan. Mungkin lagu yang agak tepat untuk menggambarkan suasana hati saat itu adalah lagu Balonku Ada Lima, pada baris ini: “….hatiku ‘mulai’ kacau….”

Sindang HeulaAkhirnya, kita bertemu juga dengan Nasi Hideung. Dalam bakul nasi – warung tempat kita menjatuhkan pilihan – tersedia 3 jenis nasi, nasi putih, nasi merah, dan nasi hitam. Warna nasi hitam, tidak sehitam yang dibayangkan juga. Nasi hitam ini hanya sedikit gelap dari warna nasi merah. Dan rasanya……. ughhh….. benar-benar kriminal..!!

Isi piring DinaSebagai teman nasi hideung, kita pilih pepes ayam, pepes jamur, pepes ikan mas, dan tahu tempe goreng.

Sambal enakSambalnya habis digasak Mbak Silvi dan Yuni. Enak banget siiihhh…. Btw, apa nama sambalnya, Yun? Semua orang nambah, sampai semuanya tandas. Kalo nggak salah, Dina nambah sampai 5 kali.. 😀

Kerupuk hideungOh ya, kerupuknya juga item loh….. Apakah juga karena mengandung nasi hideung? Ah, tak penting juga pusing mikirin bahan pembuatnya. Yang penting, makaaaaaannn…..!!!

Dan untuk semua keindahan rasa ini, kita cukup bayar 33 ribu sekian saja, sudah termasuk teh wangi dan kopi tubruk. Sempet terpikir, untuk menjadikan nasi hideung sebagai menu makanan ritual setiap kali bila berkunjung ke Bandung lagi..

Bersambung ke: Part 2